Thursday, January 22, 2009

Series : Living With My Cousin - Chapter 14

Gua dan Rafael... Gua dan Jhosua


Tugas kuliah kini mulai terasa melelahkan. Dikarenakan gua sering menunda-nunda tugas yang terdahulu kini tugas itu kian menumpuk. Alhasil ya gua sendiri yang kelabakan. Dari sore sampai malam tangan gua nggak ada berhenti-berhentinya ngetik di labtop. Blom lagi dengan sabar mencari-cari bahan tugas di internet. Blom lagi saat Jhosua pulang gua harus kerja mulut selama kurang lebih 45 menit. Semua ini rasanya membuat gua seakan mau pecah. Otak gua, tubuh gua, semangat gua. semuanya terasa telah bekerja selama ratusan hari dan rasanya harus terus bekerja lagi.
    Ketika pukul 2 pagi, saat dua dari sekian banyak tugas gua selesai gua langsung memutuskan tidur. Tanpa ingat lagi bahwa gua harus mencuci muka dan gosok gigi. Langsung saja gua berpindah dari meja kerja gua ke kasur gua dan terlelap dalam seketika.

***

Pagi hari, sekitar pukul 10 pagi mata gua terbuka. Sepupu gua yang sekarang ini serasa seperti alien pastinya sudah berangkat dari jam 7 pagi. Apartermen tampak tenang dan nyaman. Begitu gua membuka pintu kamar gua, gua melihat sekeliling. Apartermen ini memang selalu rapih. Pintu balkon terbuka dan membawa sinar dan udara luar yang segar kedalam.
    Masih sambil mengumpulkan nyawa gua berjalan menuju ruang TV yang pastinya juga sudah terang karena sinar matahari masuk dari jendela-jendela besar dari lantai sampai langit-langit itu. Membanting diri di sofa dan langsung menyalakan televisi. Nonton berita. Tidak banyak kerjaan yang gua lakukan selain bengong nonton atau mengaruk-garuk peler gua yang hanya tertutup celana dalam.
    Setengah jam berlalu dan sepertinya semua nyawa gua sudah terkumpul. Mata gua sudah bisa terbuka lebar dan rasanya gua sudah siap menjalani hidup hari ini. Maka tujuan pertama gua adalah... mandi.
Air yang mengucur dari pancuran rasanya langsung menyegarkan badan gua. Entah kenapa acara mandi pagi ini begitu nikmat. Lalu begitu gua selesai dan handukan rasanya menyegarkan segali. Lalu gua berpakaian. Rasanya celana jeans warna biru gelap dengan banyak belel-belel dipadukan dengan kaos cokelat rasanya keren juga. Belum lagi ditambah sepatu kets yang pastinya bikin gua makin pede kaluar. Semua ini rasanya cocok ditubuh gua. Lalu gua merapihkan tugas-tugas gua dan memasukannya kedalam tas selempang cokelat gua beserta laptob gua. Gua siap kuliah hari ini.

***

Oh tidaaak... ternyata Rafael masih aja marah sama gua. Dari pertama ketemu sampai mau bubaran kelas gua sama dia masih belum omongan. Dia malah duduk jauh dari gua. Sampe ada cewek yang bilang: “Tumben gak duduk bareng ama cowoknya.”
Tidak tau kah kau kalo sebenarnya gua memang cowoknya Rafael. Kalo sampe tau bisa mati jantungan lo. Hehehe... sebagai informasi aja, gua dan Rafael masuk dalam kategori cowok-cowok perusak iman. Ada banyak cowok ganteng di kampus gua dan sebagian dari mereka masuk dalam kategori Cowok Perusak Iman. Entah itu iman nya cewek atau cowok. Dan cewek-cewek juga punya kategori Cewek Perusak Iman. Salah satu kelas yang beruntung adalah kelas ini, karena dua cowok yang masuk kategori itu belajar dikelas ini. Dan mereka berdua berteman dekat lagi. Hahaha... moga-moga belom ada yang curiga.
    Udah gak keitung cewek-cewek yang miscall, SMS, nelpon gelap, nelpon terang gua sama Rafael. Sampai terkadang gua sama Rafael saling mencocokan nomor karena siapa tau kita berdua ditelpon cewek yang sama. Udah berapa cewek pula yang memberi tanda-tanda secara kasat mata sampai nembak terang-terangan gua Sama Rafael namun memang kita berdua gak ada yang doyan ya ditolak semua.
Namun gua akuin Rafael lebih diatas gua. Cewek-cewek dikampus pada klepek-klepek sama pesona Rafael yang terkenal sebagai Cowok Berwajah Dingin Keren Bertampang Cool. Karena Rafael yang pendiem maka melimpah ruahlah cewek-cewek yang penasaran sama dia. Blum lagi kalo lagi beaktivitas apapun sampai diam saja wajah Rafael emang gak bosen dipandang. Putih dengan bentuk yang tegas namun bercampur manis. Kebayangkan alasan kenapa banyak orang nggak bosen liat wajah dia. Dia berlesung pipi loh! hidungnya mancung lagi. Makanya dia lah salah satu cowok paling diincer satu kampus. Gak mungkin nggak ada cewek yang nggak diam sejenak menatap dia ketika dia lewat. Dan itu pula lah alasan mengapa Rafael kerap mendapat nilai bagus pada mata kuliah tertentu, yang dosennya perempuan. Dia tidak bego, rajin dan pintar juga. Namun pesonanya yang membuat dosen-dosen cewek pada klepek-klepek. Sehingga karena dibutakan oleh wajah hipnotical nya Rafael, mereka memberi nilai A pada setiap tugas dan ujian. Mereka sudah buta. Dan sudah dapat diduga, pada saat pengambilan KHS akan ada banyak nilai A yang menghiasi KHS-nya Jhosua.
    Cuma satu saja kelemahan dari seluruh kelebihan Rafael. Begitu pasifnya dia. Nyaris antisosial karena sedikit sekali temannya yang ada dikampus. Bisa dihitung dengan jari. Berbeda sama gua yang senantiasa beredar dimana-mana. Begitu pasifnya sehingga menimbulkan kesan bahwa dia adalah orang yang Eksklusif atau bahkan sombong. Padahal kenyataannya berbeda. Dia pernah cerita sama gua, mengenai betapa tidak menyenangkannya menjadi orang yang sulit bergaul. Banyak kesulitan yang ia dapet karena susahnya dia bersosialisasi. Jadi siapa bilang Rafael sosok cowok yang sempurna...
    Kembali ke gua dan kelas ini. Rafael duduk diam di seberang gua. Memperhatikan dengan serius (dan selalu begitu) pelajaran yang diterangkan Dosen gua yang kebetulan cewek.

***

Oke, ini udah nggak bisa dibiarin. Sampai pada saat ini, saat waktunya gua dan dia pulang karena udah nggak kelas lagi, Rafael masih saja tidak mau menunjukan komunikasinya dengan gua. Makanya gua yang pertama mengambil tindakan. Ketika selesai kelas gua mengajak Rafael menuju kelantai 10 gedung kampus gua. Lantai 10 merupakan Aula sehingga lantai tersebut jarang dipake. Begitu gua dan dia keluar dari lift, yang saat itu Cuma gua berdua doang yang isi, gua langsung menarik tangannya keluar.

   “Elo kenapa sih?”

   “Gua nggak kenapa-napa?” Rafael berkata datar, seakan tidak peduli.

   “Gua tau elo lagi ada masalah. Masalah elo sama gua?”

   “Iya, masalah gua sama lo.” Akhirnya Rafael tanggap. “Elo tau kenapa gua diemin lo dari tadi. Itu semua gara-gara lo. Gua udah emosi ngeliat tingkah laku lo belakangan ini. Elo udah bosen sama gua?”

   “Bosen gimana maksud lo?”

   “Iya, belakangan ini elo sering menghindar dari gua. Gua ajak buat begituan elo nolak mulu. Kemaren, lagi asik-asik ngumpul, elo jugabaru dateng, udah pergi lagi. Kemaren-kemarennya lagi elo kaya orang sakit gua ajak ngomong elo malah diem aja.”

    Gua menghela nafas sambil menatap cowok yang walaupun sedang marah ini tetap enak diliat. “Elo nggak tau apa yang sedang gua hadapin belakangan ini.”

   “Emang gua nggak tau. Elo nggak cerita.”

   “Gua gak bisa cerita, Rafa... ini terlalu personal.” Kata gua berusaha untuk tetap tenang, sementara Rafael tetap aja emosian.

   “Ooooh... jadi gua bukan orang penting lagi bagi lo. Ooooh gua tau sekarang... elo udah punya cowok baru kan. Pantesan aja gua dicuekin.” Kata Rafael.

   “Ssst... Rafa, elo bisa pelanan dikit nggak sih kalo ngomong.”

   “Nggak ada orang disini. Elo nggak usah mengalihkan pembicaraan. Elo udah punya cowok baru kan. Ngaku aja lo!”

    Gua akhirnya emosi juga, “Iya, gua udah punya cowok baru.”

    Rafael cukup terkejut dengan reaksi gua itu. Lalu ia berkata. “Lebih cakep dari gua?”

   “Iya.”

   “Pantesan.” Rafael tersenyum sinis sambil menatap gua dari atas kebawah. “Emang dasar murahan lo.”

    Anjrit, gak gua sangka pikiran temen gua ini sebegitu pendeknya. Gak gua sangka dia nggak sebegitu punya otaknya. Rendah banget pemikirannya. Dan kata-katanya udah nusuk hati gua. Dan... satu tonjokan melayang kewajahnya. Rafael terpental.
     Namun ia kembali berhasil bangun. Lalu membalas dengan tonjokan yang sama kewajah gua. Satu sama. Gua terus menonjoknya lagi, dan perkelahian antar lelaki jantanpun terjadi. Gua dan dia saling menonjok satu sama lain. Berusaha membuat lawatnya berdarah-darah ataupun biru-biru. Tangan Rafael merenggut baju gua sehingga bagian lengan kanan gua robek. Lalu gua memberi dia bogem mentah keperutnya. Rafael tersungkur kelantai. Gua diam menunggu dia bangkit lagi. Gua gak mau menyerang dia dalam kondisi seperti ini. Cowok sejati selalu menunggu lawannya siap untuk melawan. Rafael kembali bangkit dengan sempoyongan dia kembali berdiri dan mengatur keseimbangan.

   “Ayo tonjok gua!” kata gua yang tulang pipi gua sudah membiru dan berdarah.

   “Anjing lo!” kata Rafael dan ia kembali menyerang gua. Serangan tonjokan bertubi-tubinya akhirnya sanggup menjatuhkan gua. “Mampus lo, njing!”

    Sakit banget rasanya dan kini kening gua mulai membiru.

   “Gua benci ama lo, Ga! Gua benci!” Kata Rafael. Ia berjalan mendekati lift dan menekan tombol turun. Lalu ia menunggu lift datang tanpa sedikitpun melihat gua.

    Gua dengan segenap sisa kekuatan gua bangkit berdiri dan berusaha mengatur diri gua agar bisa seimbang berdiri. Lalu kemudian gua berdiri disebelah Rafael. Masing-masing dari kami sudah tidak berkeinginan untuk bertarung lagi. Motivasi dari kita berdua sekarang ini pastilah menunggu lift, masuk dan langsung berpisah saat keluar. Heran, udah musuhan masih aja nunggu lift bareng.
    Pintu lift terbuka dimana cewek-cewek yang sama seperti waktu kita berdua menunggu lift ditempat sama beberapa yang hari yang lalu kebetulan berada didalam lift tersebut. Rumpian mereka seketika berhenti ketika melihat dua manusia ganteng sedang dalam keadaan aneh. Bonyok-bonyok dimana-mana. Gua dan Rafael tanpa dosa dan tanpa peduli menjadi pusat perhatian keenam cewek-cewek rumpi itu melangkah masuk kedalam. Pintu lift bergerak menutup.

   “Yak ampuuuun... kalian berdua kenapa. Kok biru-biru sih mukanya?” Salah seorang cewek yang tidak mengenal kami langsung membuka pembicaraan. “Kamu juga nih, bajunya robek. Jadi... ehem... keliatan deh ototnya. Suka fitnes yeaaa...”

   “Aduh sayang deh wajahnya,” Kata cewek disebelah Rafael. “Ganteng-ganteng kok bonyok sih. Tapi masih ganteng kok, Cuma ada biru-biru aja.”

   “Kalian kenapa siiih? Abis berantem ya? Kenapa? Gara-gara apa? Pasti gara-gara cewek deh.” Cewek yang lain ikutan nimbrung.

   “Oh enggak, kita tadi abis latihan taek kwondo.” Gua menjawab asal-asalan.

   “Kok sampe biru-biru begitu sih. Aduh kasian deh kamu.” Cewek yang pertama berusaha menyentuh wajah gua dengan maksud melihat luka-luka gua. “Sakit nggak ini?”

   “Sakit... au-au!”

   “Sakit yaaa... Aduuuuh... aku jadi sedih deeeech.”

   “Abis ini langsung diobatin ya.”

   “Aku obatin ya!” cewek yang lain ikutan centil.

   “Ama aku aja, pake sapu tangan deh... ini yang cowok indo mau ya aku obatin.”

    Rafael hanya tersenyum saja.

   “Aduuuh... kamu senyumnya manis banget deh. Ada lengsung pipinya.”

    Pintu lift akhirnya terbuka dan sambil menunggu keenam cewek-cewek super heboh itu keluar kita berdua menunggu dibelakang. Lalu ketika cewek-cewek itu keluar gua dan Rafael keluar... dan berpisah jalan.

***

Gua tiba di apartermen sekita pukul empat sore. Begitu tiba, seperti biasa gua menanggalkan seluruh pakaian dan hanya menyisakan celana dalam. Berjalan dengan sedikit sempoyongan ke ruang tv dan dan langsung membanting diri di sofa super empuk dan nyaman favorit gua. Kepala gua rasanya sakit dan tubuh gua merasa sangat lelah. Tidak lemah tetapi hanya lelah yang luar biasa. Rasanya entah kenapa sofa yang gua tiduri ini terasa begitu nyaman melebihi tempat tidur manapun juga. Gua merasa pewe dan nyaman luar biasa sehingga gua begitu malas untuk berpindah tempat. Siaran tv yang sekarang gua saksikan terasa tidak jelas. Karena konsentrasi dan fokus gua hilang. Terkadang sadar-terkadang tidur... sadar lagi... tidur lagi... begitu seterusnya... sampai gua akhirnya tenggelam dalam kegelapan.

***

   “Ga... Iga...!” seseorang bersuara. Seakan menarik gua dari kegelapan. Membawa gua kembali ke alam nyata. Dan begitu gua membuka mata Jhosua sudah berada didepan gua. Duduk di sofa gua sambil menatap gua dengan prihatin. “Elo kenapa?”

   “Apa?” Salah satu tanggapan standar dari fase bangun tidur. Karena masih berusaha mengumpulkan nyawa.

   “Elo kanap? Berantem lo ya? Atau ada yang macem-macem sama lo? Lo bilang sama gua, biar gua bakar tuh orang. Bilang aja Ga, gak usah takut. Ada gua.” Jhosua semakin semangat berkata sama gua.

   “Enggak kenapa-napa.” Jawab gua.

   “Serius lo? Ini bukan gara-gara digebukin orang? Kalo iya bilang aja. Nggak usah takut. Biar gua samperin tuh orang. Kalo perlu tauran, ya tauran sekalian. Main bunuh-bunuhan ayo.” Jhosua semakin tersulut emosi.

   “Nggak kenapa-napa gua. Gua tadi abis kepentok sana-sini.”

    Sepupu gua itu diam sebentar sambil menatap gua. Tampak tidak percaya.

   “Kepentok?!” katanya. “Kepentok apaan lo sampe biru-biru begini.”

   “Macem-macem.”

   “Yang bener lo, Ga?” kata Jhosua belum yakin. Rupanya Jhosua begitu khawatir sama keadaan gua saat ini. Terbukti dari masih lengkapnya dia berpakaian. Dia bahkan masih bersepatu.

   “Iya bener.”

    Sepupu gua itu masih belum merima kenyataan bahwa gua mengalami kepentok sana sini. Yang sebenarnya muka gua kepentok sama tangan-tangan. Namun berikutnya dia tertawa sambil mengelus-elus kepala gua. “Ada-ada aja lo, Ga. Bisa aja elo kepentok berkali-kali.”

   “Emang waktu itu gua lagi kurang kerjaan. Lari-lari ditempat sempit. Yang begini jadinya.”

   “Ah ada-ada aja.” Jhosua berkata sambil tertawa kecil. “Ya udah, elo tiduran aja lagi. Ntar biar gua obatin luka-luka lo.”

    Jhosua lantas beranjak dari sofa gua dan menuju kamarnya. Kala itu gua melihat jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Berarti sudah 5 jam gua tidur. Pantes gua berasa segeran. Namun rasa sakit jadi lebih terasa karena semakin lama rasa sakit akan semakin perih. Berbeda pada awal-awalnya. Rasa sakitnya tidak seperih sekarang.
    Jhosua kembali ke sofa sudah dalam keadaan hanya bercelana dalam saja. Dia kini membawa kapas dan betadine sekarang. Gua langsung duduk bersandar sementara Jhosua mulai mempersiapkan obat-obatan. Ia menuangkan cairan betadine ke kapas dan siap mengobati luka gua.
    Selama proses mengobati wajah gua, kita berdua banyak mengobrol. Melepas masa suram sepi pembicaraan formal dan cari selama seminggu lebih ini. Dalam sejenak gua dan dia kembali mencair. Entah kenapa, gua pun belum tahu alasannya. Namun yang pasti dia bilang kalo dia kangen banget sama gua. Gua juga. Kangen dalam artian kembali seperti dulu lagi. Seru-seruan dan gila-gilaan bareng. Nggak diem-dieman kaya begini. Dan anehnya selama pembicaraan itu gua dan dia nggak menyinggung masalah soal masa-masa kelam gua sebagai seorang budak nafsu. Namun gua kurang begitu mempermasalahkannya sekarang. Yang jelas sekarang gua lagi pengen melepas rasa kangen gua dengan Jhosua.
    Setelah selesai mengobati, gua dan Jhosua berpakaian lalu turun kebawah untuk makan malam. Ini adalah makan malam pertama gua bersama dia semenjak masa perang dingin beberapa hari kemarin. Dan benar saja, makan malam tampak seperti biasa, seakan diantara gua dan dia tidak pernah terjada sengketa apa-apa. Sangat measyikan dan menyenangkan. Memang ada beberapa teman-teman sesama penghuni apartermen yang menanyakan perihal mengenai wajah yang tampil beda ini. Dan gua hanya memberikan jawaban berupa senyuman atau jawaban seperti apa yang gua berikan kepada Jhosua sebelumnya.
    Keadaan sedikit kaku ketika mendadak Kiddo muncul. Awalnya gua dan Jhosua tampak diam namun karena begitu ramahnya perilaku Kiddo maka akhirnya kita berdua makan malam bertiga. Mula-mula pembicaraannya adalah mengenai hal-hal formal. Kiddo bertanya soal kerjaan Jhosua dan dimana dia bekerja, dan begitu sebaliknya. Namun entah kenapa lama kelamaan arah pembicaraan menjadi ngomonging soal gua. Ngomongan soal tingkah laku gua, soal kegilaan-kegilaan gua, soal kebiasaan-kebiasaan aneh gua. Dan mereka bahagia membicarakannya, tanpa merasa bersalah sama gua. Seakan membahas mengenai kejelekan-kejelekan gua sambil ketawa cekikikan merupakan sesuatu hal yang bisa membuat mereka berdua cepat akrab. Sialan. Jadi nyesel sendiri ngajak makan malam bertiga.

***

Pukul sebelas malam. Gua sedang mendengarkan musik melalui ipod gua di tempat tidur gua. Hanya dengan bercelana dalam saja, gua menikmati betapa nyamannya tempat tidur gua ini. Kedua tangan gua, gua letakan dibawah kepala gua. Menampilkan bulu-bulu ketiak gua yang tipis. Betapa nyamannya malam ini. Udah hubungan gua membaik, makan malam, Jhosua dan Kiddo jadi bisa kenalan dan mengakrabkan diri, walaupun membutuhkan topik yang cukup membuat gua bete, dan kini gua bisa tidur malam karena sabtu besok para dosen bakalan rapat. Tugas-tugas yang udah tingal 4 biji bisa gua tunda sampai sabtu siang. Pokoknya sekarang gua ingin menikmati nyamannya tiduran ditempat tidur, nyaris telanjang dan dengan alunan musik favorit gua.
    Mendadak pintu kamar gua terbuka dan Jhosua masuk. Dia berjalan mendekati tempat tidur gua dan berdiri didekatnya. Dia baru selesai mandi, karena sebelumnya gua yang mandi duluan. Wajahnya putih segar dan kulitnya bersih dan wangi sabun. Dia menatap gua dalam-dalam.

   “Ga, gua mau ngomongin sesuatu.”

Dan segala sesuatu yang nyaman secara perlahan menghilang.

2 comments:

  1. belum ku baca tp kyknya mnrik... aku copy ya baca di rumah :) btw buat blog gni gimana ya??? :) thnks

    ReplyDelete
  2. bikin blog gampang kok. cuma butuh email aja...

    ReplyDelete